Sekilas Tentang Universitas Islam Madinah



Berjalan 5 km ke arah barat Masjid Nabawi, anda akan segera di sambut gapura dengan arsitektur babilonia bercorak coklat muda. Tingginya tak kurang dari 10 meter. Itu adalah pintu masuk utama kampus  idaman jutaan remaja muslim dunia, Universitas Islam Madinah, atau yang akrab disebut Al-Jami’ah Al-Islamiyah..

Menempati area tak kurang dari 50 hektar, UIM (Universitas Islam Madinah) merupakan basis pendidikan islam tervital di dunia. Rasanya, kata “Madinah” yang tersemat di belakang namanya, cukup untuk menunjukan kepada penduduk bumi integritas lembaga pendidikan ini dalam bidang ilmu syar’i.


Populasi penduduk kampus ini tak hanya besar, namun juga heterogen. Ribuan  mahasiswa yang berasal dari berbagai belahan dunia terkonsentrasi di dua puluh (20) gedung asrama di dalam kampus dan tiga belas (13) gedung asrama di luar kampus.



Satu hal yang patut kita banggakan sekaligus syukuri, ternyata persentase jumlah mahasiswa Indonesia menempati rangking tertinggi dibanding mahasiswa non Saudi lainnya. Tercatat ada 684 mahasiswa Indonesia menimba ilmu di sini. Mereka datang dari seantero wilayah Republik Indonesia, mulai dari Nangroe Aceh Darussalam hingga Merauke.




Terdaftar sebagai mahasiswa di sini merupakan anugrah besar.  Coba bayangkan, betapa ketatnya persaingan masuk kampus ini. Di Indonesia saja ada ratusan ribu remaja yang bermimpi untuk mendapatkan kursi belajar di sini, sedangkan kuota yang tersedia sangat terbatas.


Beribu cara, trik dan jalan mereka lalui demi mendapatkan kesempatan menimba ilmu di Tanah Suci Kota Nabi. Ada yang menunggu-nunggu info kapan diadakannya Dauroh dan Muqobalah yang diadakan oleh Para Dosen UIM di Indonesia untuk bisa mengikuti Muqobalahnya, Ada yang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk pergi umroh sambil muqobalah (mendaftar langsung), namun hasilnya nihil. Ada yang melanglang buana beberapa tahun sebagai supir para syaikh, setelah itu baru memperoleh rekomendasi untuk belajar di sini. Bagi yang tak mampu datang muqobalah kemari, mereka hanya bisa mengirim berkas atau menitipkannya pada orang lain sambil memperbanyak doa dan memperkuat tawakkal.  


Namun demikian, ada juga segelintir orang yang datang kemari dengan mulus. Biasanya, mereka berasal dari beberapa pondok pesantren ternama yang dikunjungi oleh para syaikh saat bertandang ke Indonesia, kemudian membuka muqobalah di tempat.


Layaknya kampus Saudi lainnya, mahasiswa UIM melalui hari-hari belajar resmi di sini dari pukul 07:30 hingga kumandang azan dzuhur, dari hari ahad sampai hari kamis. Dari lima fakultas yang tersedia; fakultas dakwah dan ushuluddin, syari’ah, bahasa arab, hadits, dan fakultas Al-qur'an, fakultas syariah menjadi lingkungan belajar terfavorit para mahasiswa. “Sepertinya, ilmu yang saya dalami di sini sangat terasa manfaatnya bagi kelangsungan dakwah di kampung halaman”, begitu jawaban sebagian besar mereka ketika ditanya mengapa menjatuhkan pilihan kepada fakultas syari’ah.


Fasilitas penunjang belajar yang disediakan universitas cukup memadai. Mukafaah dengan nilai nominal SR 840 (hampir Rp. 3.000.000,-) per bulan, asrama, perpustakaan, kantin dengan harga menu extra miring (SR 2 per porsi), klinik kesehatan gratis, bis antar-jemput ke Masjid Nabawi, tiket Madinah-Jakarta PP selama libur musim panas, dan berbagai prasarana lainnya sangat menolong mahasiswa dalam memperoleh kemudahan menuntut ilmu.


Tidak hanya itu, UIM juga memacu mahasiswanya untuk membeli buku dengan fasilitas badal kutub, atau dalam bahasa kita “uang ganti buku”. Fasilitas ini “turun” setiap tahunnya bertepatan dengan di selenggarakannya pameran buku tahunan. Mirip dengan gaji ketiga belas PNS di Indonesia, nilai nominal badal kutub setara dengan satu bulan mukafaah (SR 840).


Bak laron yang menyerbu lampu neon di musim hujan, mahasiswa terlihat tumpah ruah di antara bilik-bilik pameran buku tahunan. Event ini menjadi ajang para mahasiswa untuk mengumpulkan “bekal”.  Bukan berupa makanan, melainkan buku-buku dan literatur-literatur para ulama yang akan sangat membantu perjalanan dakwah di tanah air. Ini merupakan kesempatan emas. Pasalnya, buku-buku dengan literatur bahasa arab sangat minim di tanah air. Kalaupun ada, harganya juga cukup membuat orang berpikir dua kali untuk merogoh kantong.


Sebagai kampus dengan komposisi mahasiswa yang heterogen dengan 1001 latar belakang dan tabiat yang sangat beragam, tentu ada banyak hal yang dapat memicu perselisihan di sini. Namun, sepanjang sejarah berdirinya kampus ini, Alhamdulillah, reputasi mahasiswa Indonesia tetap harum di mata “dunia internasional”. Secara umum, “anak-anak” Indonesia terkenal sebagai orang-orang yang berbudi pekerti luhur, santun, ramah, murah senyum, nyaman dalam berinteraksi dan bukan tipe “trouble maker” alias tukang bikin onar. Ini bukan hanya kesaksian segelintir individu, melainkan kesaksian hampir semua orang dari berbagai negara, bahkan perkataan dari Dosen-dosen di kampus maupun masyarakat Madinah secara umum.


Ada satu hal yang membuat belajar di Madinah begitu spesial, begitu sakral, dan begitu istimewa. Sesuatu yang tidak bisa tergantikan dengan fasilitas semewah apapun, tidak tertandangi oleh kampus manapun, dan tidak pula terbeli dengan mukafaah sebanyak apapun. Hal istimewa itu adalah Masjid Nabawi.


Setiap muslim bermimpi untuk bisa sholat setiap hari di tempat ini.  Tidak sedikit orang-orang di tanah air rela membayar berapapun untuk bisa beberapa hari mengunjungi tempat paling Afdhol kedua di muka bumi ini. Adapun mahasiswa UIM, Alhamdulillah, hanya dengan duduk manis di kursi bis, atau membayar taxi dengan dua lembar recehan satu realan, sudah bisa mendegarkan langsung lantunan ayat-ayat suci imam-imam Masjid Nabawi setiap hari.


Suasana hening, damai, dan tenang di masjid kesayangan Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- ini membuat suasana belajar sangat kondusif.  Ditambah lagi, halaqoh-halaqoh belajar resmi maupun tidak resmi yang bertebaran di penjuru masjid, menjadikan ruh tholabul ilmi makin terasa.  Denyut nadi ilmu di tempat ini begitu terasa.


Halaqoh dengan populasi terpadat  adalah halaqoh syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad  -hafidzohullah-. Beliau dikenal sebagai pakar hadits dari kota suci ini. Bahkan ada yang bilang, beliau adalah satu-satunya muhaddits yang tersisa di Madinah. Saat tulisan ini di buat, dihalaqohnya beliau masih membahas kitab shohih Bukhori.


Selain halaqoh beliau, masih banyak lagi halaqoh-halaqoh lain dengan berbagai pembahasan ilmu syar’I. Dan ada juga halaqoh-halaqoh yang tidak resmi, yaitu halaqoh-halaqoh yang tidak  terdaftar di qism syu’unu tadris (lembaga kepengurusan pendidikan) Masjid Nabawi. Halaqoh semacam ini, biasanya terdiri dari beberapa orang yang membahas seputar cabang ilmu tertentu atau mangkaji buku ulama tertentu. Contohnya adalah halaqoh buku matan abi syuja’ yang ada disebelah timur masjid, dan halaqoh ilmu nahwu yang ada di pojok sebelah barat masjid, dekat pintu Malik Su’ud.


Menurut pandangan subyektif penulis, tanpa kehadiran anak-anak jami’ah (predikat akrab bagi para mahasiswa UIM), suasana masjid  nabawi terasa kurang semarak. Sebab selama ini, merekalah yang menghembuskan kembali ruh kehidupan salafus sholih di masjid ini dengan halaqoh-halaqoh ilmu. Tanpa kehadiran thullabul ilmi, pemandangan di Masjid Nabawi akan terlihat seperti mayoritas masjid di tanah air, dimana kebanyakan jama’ah menjadikannya sebagai tempat nyaman untuk berleha-leha, santai-santai dan tidur setelah sholat.


Meskipun pahala sholat fardhu di Masjidil Haram 100 kali lebih banyak di  bandingkan Masjid Nabawi, tapi banyak orang mengakui bahwa suasana belajar di sini lebih kondusif dibandingkan dengan Masjidil Haram. Hal itu disebabkan terlalu banyaknya orang lalu lalang di sana, ditambah lagi tata ruang masjid yang kurang bisa mengkoordinir pemisahan antara pria dan wanita. Berbeda dengan Masjidil Haram, Masjid Nabawi tertata begitu rapih dan tertib, sehingga membuat orang yang belajar di sini merasa nyaman.


Akhir kata, sebagaimana yang pernah diungkapan sahabat Mu’adz bin Jabal,


”الأرض لا تقدس الرجال“, maknanya,


”bumi tempat berpijak tidak bisa  menjamin penghuninya”.


Sesuci apapun tempat, tidak bisa menjamin kesucian orang yang menempatinya. Buktinya, manusia paling kotor seperti abu jahal lahir di atas tanah paling suci (Makkah). Pun begitu kota Madinah, atau lebih spesifik lagi Jami’ah Islamiyah. Hanya orang yang benar-benar memiliki semangat belajar yang akan mengambil manfaat dari keberadaan dirinya di sini. Wallahu a’lam


Label: